PERKEMBANGAN
STUDI ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
Ita Nur
Khasanah
Institut Agama
Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar
Dewantara 15 A Kota Metro, Lampung 34111
E-mail: itanurkhasanah94@gmail.com
Abstrak
Pendidikan merupakan sarana yang sangat penting bagi manusia,
dengan pendidikan manusia bisa belajar mempelajari ilmu pengetahuan dan untuk keberlangsungan
hidup dalam mempertahankan hidupnya. Pendidikan Islam sangat penting maka Islam
memberi kedudukan yang paling tinggi untuk pendidikan. Pentingnya pendidikan
dapat dilihat dari sejarahnya. Pendidikan Islam mulai berkembang sejak masa
Khulafaur Rasyidin hinggga pada puncaknya Dinasti Abbasiyah. Pendidikan yang
berkembang dengan pesat merupakan pada masa Dinasti Abbasiyah. Karena Dinasti
Abbasiyah sangat memperhatikan perkembangan dalam pendidikan terutama dalam
ilmu pengetahuan. Pendidikan Dinasti Abbasiyah berkembang sangat pesat di
seluruh Negara Islam hingga melahirkan madrasah-madrasah yang tidak terhitung
banyaknya di desa-desa maupun di kota-kota. Dinasti Abbasiyah adalah Dinasti
terlama dalam sejarah Islam.
Kata kunci: Perkembangan Pendidikan, Pendidikan Islam, dan Dinasti Abbasiyah
A.
Pendahulan
Perkembangan pendidikan
dan pengajaran Islam dimulai sejak lahirnya agama Islam, Islam sebagai ajaran
yang mengajarkan tentang konsep ilmu bagi pemeluknya. Islam bukan saja menjadi
aturan hidup bagi pemeluknya melainkan juga membimbing, memberikan arahan dan
aturan dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Perkembangan pendidikan dan pengajaran
Islam dimulai sejak lahirnya agama Islam, Islam sebagai ajaran yang mengajarkan
tentang konsep ilmu bagi pemeluknya.
Agama Islam membawa
perubahan besar bagi masyarakat Arab dan seluruh pemeluknya. Masyarakat
muslimin berhasil membentuk sebuah kerajaan besar yaitu Dinasti Abbasiyah yang
terkenal dengan berkembang pesatnya pendidikan terutama pendidikan ilmu
pengetahuan yang wilayahnya melipiti jazirah Arabia, sebagian benua Afrika,
Asia, dan Eropa dari abad 12 M.[1]
Sejak munculnya Dinasti Abasiyah inilah kejayaan Dinasti Abbasiyah semakin
terlihat. Pada awal terbentuknya, Dinasti Abbasiyah berkembang dengan sangat
pesat diseluruh Negara Islam di dunia. Sehingga muncullah madrasah-madrasah
yang tidak terhitung banyaknya.
Dinasti Abbasiyah adalah
khalifahan yang berkuasa di Baghdad yang saat ini menjadi ibukota Irak. Dinasti
Abbasiyah berkembang dengan sangat pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai
pusat pengetahuan yang paling besar dalam sejarah dengan melanjutkan tradisi
keilmuan Yunani dan Persia. Masyarakat muslimin hampir empat setengah
abad benar-benar merubah masyarakat Arab yang dikenal keras menjadi
peradabannya maju. Pada waktu itu pulalah, peradaban Islam sangat berjasa dalam
mengembangkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[2]
Sebagai bagian dari
kekuasaan Islam Dinasti Abbasiyah tentu mempunyai sejarah Islam pada masa awal
berdiri sampai masa keruntuhannya. Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti
Umayyah. Namun, jika dilihat dari segi politik Dinasti Abbasiyah bukanlah
perpanjangan dari Dinasti Umayyah yang berkuasa sebelumnya. Meskipun Dinasti
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Umayyah, namun masing-masing dinasti
mempunyai karakteristik yang berbeda antara masing-masing dinasti
tersebut.
B. Pembahasan
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Awal berdirinya Dinasti
Abbasiyah, berawal sejak rapuhya sistem internal dan performance
pemimpin Dinasti Abbasiyah yang akhirnya
Dinasti Umayyah di Damaskus runtuh, maka untuk menggantikan pemimpin umat Islam adalah dari kalangan
Dinasti Abbasiyah.[3]
Propaganda Dinasti Abbasiyah ini banyak menarik simpati masyarakat dan
mendukung pengajuan pemimpin umat Islam di Damaskus terutama dari kalangan Syi’ah,
karena dengan suasana keagamaan dan berjanji akan menegakkan keadilan kembali
seperti yang dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin.[4]
Mendapat nama Dinasti
Abbasiyah diambil dari salah satu seorang paman nabi yaitu yang bernama
al-Abbas Ibn Abd al-Muthalib Ibn Hisyam. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-Abbas setelah Dinasti
Umayyah.[5] Berlangsung
selama 5 abad kekuasaan Dinasti Abbasiyah sejak abad 750-1258 M,[6] merupakan
kelanjutkan kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Pendiri Dinasti Arab ketiga yaitu
al-Saffah setelah Khulafaur Rasyidin yang sangat besar dan berusia sangat lama.
Masyarakat Abbasiyah
merasa lebih berhak dibanding masyarakat Umayyah atas kekhalifahan Islam, masyarakat
Abbasiyah bisa merasa lebih berhak karena Dinasti Abbasiyah adalah cabang dari Bani
Hasyim yang keturunan biologisnya lebih dekat dengan nabi. Menurut masyarakat
Abbasiyah, masyarakat Umayyah memaksakan untuk menguasai khilafah melalui
tragedi perang Siffin. Masyarakat Dinasti Abbasiyah mendirikan Dinasti
Abbasiyah dengan mengadakan pemberontakan yang luar biasa kepada masyarakat
Umayyah.[7]
Setelah meruntuhkan Dinasti Umayyah dengan cara membunuh Marwan sebagai
khalifah Dinasti Umayyah, pada abad 750 M, al-Abbas menganggap dirinya sebagai
khalifah pertama yang mendirikan Dinasti Abbasiyah.
Pada saat al-Abbas
menjabat sebagai khalifah, dia diberi gelar al-Saffah yang artinya penumpah
darah. Sebutan al-Saffah diberikan kepada al-Abbas karena al-Abbas mengeluarkan
dekrit kepada gubernur Dinasti Abbasiyah yang berisikan perintah untuk membunuh
para tokoh Umayyah. Bahkan al-Safah juga melakukan perbuatan keji dengan
menggali kuburan para khalifah Dinasti Umayyah, keculi Umar II, kemudian
tulang-tulangnya dibakar. Berdirilah dinasti yang menuju kekuasaan
internasional, dengan assimilasi berbagai pemikiran dan peradaban Persia, Romawi
Timur, Mesir dan sebagainya.
Sebelum al-Saffah
wafat, dia mengangkat saudaranya Abu Ja’far dengan gelar al-Mansur.[8] Al-Mansur
adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiyah pada abad 754-775 M. Meskipun bukan
seorang yang saleh sebenarnya Abu Ja’far al-Mansur yang membangun dinasti, tiga
puluh lima orang khalifah berasal dari keturunannya. Nama kota resmi al-Mansur
di Madinah as-Salam. Masa kekuasaan ini berhasil mencapai kejayaan pada abad
pertengahan. Pewaris dan prestise kota Ctesiphon, Babilonia, Nineceh, Ur, dan Timur
Kuno adalah Abu Ja’far al-Mansur.[9]
Sebelum wafat al-Mansur
membangun istana Qashr al-Khuld artinya istana keabadian.[10] Dalam
perjalanan ibadah haji al-Mansur wafat pada 7 oktober 775 diusia 60 tahun dekat
Mekah. Seratus liang kubur digali dan dimakamkan disalah satu liang kubur
supaya tidak dapat dilacak oleh musuh. Selanjutnya kekuasaannya dilanjutkan
oleh al-Mahdi anaknya al-Mansur.
Pada masa
kekhalifahannya al-Mahdi, perekonomian mulai membaik dari sebelumnya. Pertanian
ditingkatkan dengan melakukan irigasi sehingga hasilnya semakin bertambah.
Begitu pula juga dengan hasil pertambangan semakin bertambah. Basrah dijadikan
pelabuhan yang sangat penting pada saat itu. Al-Mahdi adalah khalifah pertama
mengumandangkan perang suci Bizantium yang dipimpin anaknya bernama Harun dan akhirnya
sukses. Selama perjalanan ini al-Mahdi memberikan gelar al-Rasyid yang artinya
pengikut jalan yang lurus. Kekhalifahan al-Mahdi digantikan oleh ayah al-Mahdi
karena wasiat dari ayah al-Mahdi. Kekhalifahannya berjalan satu tahun dan
digantikan oleh Harun al-Rasyid.[11]
Zaman khalifah Harun
al-Rasyid pada abad 789-809 M dan putranya al-Ma’mun pada abad 813-833 M
Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaan.[12] Kekayaan
yang dicapai banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk berbagai keperluan
sosial, kesejahteraan ilmu sosial, ilmu pengetahuan, dan kebudayaannya. Inilah
yang membuat Dinasti Abbasiyah semakin maju dan terkuat sehingga kekuasaan ini
tak tertandingi oleh dinasti lain. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid penerjemahan
buku-buku Yunani, Harun al-Rasyid belajar menerjemahkan dari golongan
orang-orang Kristen dan penganut agama lain yang ahli dalam menerjemahkan
bahasa. Harun al-Rasyid juga mendirikan sekolah-sekolah, yang termasuk sekolah
yang penting adalah Bait al-Hikmah pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai sekolah
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan penerjemahannya
diterjemahkan oleh orang-orang ahli dalam penerjemahan bahasa, yaitu dari
golongan Kristen dan penganut agama lain.[13]
Khalifah berikutnya
yaitu al-Mu’tashim abad 833-842 M. Dia memberi peluang besar untuk Turki masuk
dalam pemerintahan, adanya mereka sebagai tentara pengawal, tidak seperti masa Dinasti
Umayyah, al-Mu’tashim mengubah sistem ketentaraan. Tentara dibina khusus
menjadi prajurit-prajurit professional. Maka, kekuatan Dinasti Abbasiyah semakin
kuat untuk mempertahankan dinastinya.
Berdasarkan fakta sejarah,
37 khalifah yang pernah menjadi pemimpin Dinasti Abbasiyah masa kejayaan dan
masa keemasannya antara khalifah ketiga al-Mahdi, dan khalifah kesembilan
al-Watsiq, dan khususnya pada masa Harun al-Rasyid dan anaknya al-Ma’Mun. selama
kekuasaan mereka tersebut Dinasti Abbasiyah sangat berkembang pada peradaban Islam.[14]
Berikut ini nama-nama khalifah
berjumlah 37 pada masa Dinasti Abbasiyah.[15]
NO
|
KHALIFAH
|
NO
|
KHALIFAH
|
1
|
Abul Abbas Ash-Shafah (Pendiri)
749-753 M
|
20
|
Abul Abbas Ahmad Ar-Radi
9344-940
|
2
|
Abu Ja’far Al-Manshur
754-775 M
|
21
|
Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi
940-944 M
|
3
|
Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi
775-785 M
|
22
|
Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi
944-946
M
|
4
|
Abu Muhammad Musa Al-Hadi
785-786 M
|
23
|
Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu’ti
946-974 M
|
5
|
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid
786-809 M
|
24
|
Abul Fadl Abdul Karim At-Thai
974-991 M
|
6
|
Abu Musa Muhammad Al-Amin
809-813 M
|
25
|
Abul Abbas Ahmad Al-Qadir
991-1031
M
|
7
|
Abu Ja’far Abdullah Al-Ma’mum
813-833 M
|
26
|
Abu Ja’far Abdullah Al-Qaim
1031-1075 M
|
8
|
Abu Ishaq Muhammad
Al-Mu’tashim 833-842 M
|
27
|
Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi
1075-1094 M
|
9
|
Abu Ja’far Harun Al-Watsiq
842-847 M
|
28
|
Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir
1094-1118
|
10
|
Abu Fadl Ja’far Al-Mutawakil
847-861 M
|
29
|
Abu Abbas Manshur Al-Fadl
Al-Mustarsyid 1118-1135 M
|
11
|
Abu Ja’far Muhammad Al-Muntashir
861-862 M
|
30
|
Abu Ja’far Al-Manshur Ar-Rasyid
1135-1136 M
|
12
|
Abul Abbas Ahmad Al-Musta’in
862-866 M
|
31
|
Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi
1136-1160
M
|
13
|
Abu Abdullah Muhammad
Al-Mu’taz 866-869 M
|
32
|
Abul Mudzafar Al-Mustanjid
1160-1170 M
|
14
|
Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi
869-870 M
|
33
|
Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi
1170-1180 M
|
15
|
Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tamid
870-892 M
|
34
|
Abul Abbas Ahmad An-Nasir
1180-1225 M
|
16
|
Abul Abbas Ahmad Al-Mu’tadid
892-902 M
|
35
|
Abu Nasr Muhammad Az-zahir
1225-1226
M
|
17
|
Abul Muhammad Ali Al-Muktafi
902-905 M
|
36
|
Abu Ja’far Al-Mansur Al-Mustansir
1226-1242 M
|
18
|
Abul Fadl Ja’far Al-Muqtadir
905-932 M
|
37
|
Abu Abdullah Al-Mu’tashim Billah
1242-1258 M
|
19
|
Abu Mansur Muhammad Al-Qahir
932-934 M
|
Pada masa inilah
pertama kalinya dalam sejarah Dinasti Abbasiyah terjadi kontak antara Islam
dengan Negara Barat.[16] Dinasti
Abbasiyah dikenal baik dalam ingatan dunia dalam sejarah Islam. Dikum dari
Tsalabi al-Mansur sang pembuka, al-Ma’mun sang penengah, al-‘Mu’Tadhib sang
penutup, setelah al-Watsiq mulai menurun hingga al-Mu’tashim khalifah ke 37,
mengalami kehancuran ditangan Mongol pada abad 1258 M.
2. Pendidikan Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Kemunculan pendidikan Islam berawal dari Rasulullah SAW dari pendidikan
yang bersifat informal yang berupa dakwah Islamiyah untuk menyebarkan misi
ajaran Islam.[17]
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang dari abad
750-1250 M. Zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah sangat dikenal dengan masa
keemasan dan kejayaan Islam dalam ilmu pendidikan. Para khalifah tokoh yang
benar-benar cinta terhadap ilmu pengetahuan sekaligus merupakan pusat kekuasaan
politik dan agama. Pada masa Dinasti Abbasiyah ini umat Islam juga banyak
melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan sehingga berhasil dalam
mengembangkan pendidikan Islam.[18] Pemerintahan
dinasti Abbasiyah memiliki perbedaan dengan Dinasti Umayyah, perbedaan tersebut
yang membuat Dinasti Abbasiyah berkembang. Salah satu perbedaan antara Dinasti
Abbasiyah dengan Dinasti Umayyah adalah bahwa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
tidak terlalu nafsu dalam melakukan ekspansi ke negara lainnya. Terkait perbedaan
tersebut Badri Yatim mengungkapkan dua alasan, yaitu karena pemerintahannya
tidak kuat untuk membuat mereka tunduk dan lebih menitikberatkan kepada
peradaban dan kebudayaan dari politik dan ekspansi.[19]
Dinasti Abbasiyah juga memiliki
kelebihan dalam berinteraksi dunia intelektual, baik dengan agama maupun dengan
Yunani. Kemajuan Dinasti Abbasiyah juga dicapai dalam ekonomi yang sangat
melimpah sehingga bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat dan kesejahteraan
rakyat.[20]
Kondisi seperti itulah yang membuat pendidikan Islam semakin berkembang
diberbagai daerah. Khazanah keilmuan mewarnai kehidupan Islam dan banyak para
ilmuan muslim muncul mengantarkan pendidikan Islam pada masa kejayaannya.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang muncul pada saat itu adalah:
a.
Kuttab
Kuttab
adalah jenis tempat belajar yang diajarakan tentang membaca dan menulis. Dalam
perkembangan lembaga kuttab juga diajarkan ilmu-ilmu membaca al-Qur’an. Kuttab
tersebut untuk semua kalangan tidak membeda-bedakan antara orang kaya dengan
orang miskin. Karena pendidikan Islam menganut sistem demokrasi. Pada masa Dinasti
Abbasiyah kuttab berkembang dengan sangat pesat hingga setiap desa mendirikan
kuttab sendiri bahkan setiap desa lebih dari satu kuttab.
b.
Masjid
Masjid
adalah tempat beribadah kepada Allah selain itu tempat untuk mengajarkan
tentang kajian keagamaan. Pembangunan masjid sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan
tersebar di seluruh Negara Arab bersamaan dengan perkembangan Islam di dunia.
Masjid juga pada masa Dinasti Abbasiyah berfungsi sebagai tempat pendidikan
menengah dan perguruan tinggi Islam. Selain itu, masjid juga menjadi tempat
peristirahatan para pengembara, orang-orang miskin dan juga untuk mengajarkan
madzhab-madzhab tertentu, seperti Ibnu Mu’allim yang mengajarkan madzhab
Syi’ah.
c. Khan
Khan
disini dapat dikatakan berbagai macam guna. Khan disebut sebagai hotel, gudang
barang atau pusat perdagangan, dan tempat penginapan atau asrama murid-murid
yang berasal dari luar kota. Salah satu khan yang dibangun yaitu milik Di’lij
bin Ahmad Di’lij yang terletak di dekat makam Suraij. Alasan kenapa khan
tersebut dibangun adalah untuk memuliakan ahli hukum iman Syafi’i dan
dikhususkan bagi murid-murid madzhab Syafi’i.
d.
Pendidikan
istana
Pendidikan
istana adalah pendidikan untuk anak-anak pejabat. Atas dasar pemikiran bahwa pendidikan
harus menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak. Maka,
keluarga istana memanggil guru-guru untuk memberikan pendidikan kepada
anak-anak mereka.
e.
Kedai
kitab
Kedai
kitab adalah toko kitab tempat yang menyediakan kitab-kitab untuk dijual. Pada
masa perkembangannya mereka menjadikan toto-toko kitab tersebut sebagai tempat
berkumpulnya para ulama untuk berdiskusi dalam berbagai masalah ilmiah.
f.
Perpustakaan
Perpustakaan
adalah tempat koleksi berbagai judul buku. Pada masa ini, buku memiliki nilai
tinggi sebagai sarana utama untuk pengembangan dan menyebarkan ilmu
pengetahuan. Para ulama memiliki aktivitas menulis buku dan mengajarkan kepada
murid-murid tentang bidang yang dikuasai. Murid-murid diberikan kesempatan
untuk beajar di perpustakaan umum yang diselenggarakan pemerintah atau waqaf
dari para ulama dan ilmuan.
g. Rumah-rumah
ulama
Rumah
bukanlah tempat belajar yang baik karena kurangnya berbagai aspek dalam pendidikan.
Tetapi, karena adanya faktor-faktor tertentu rumah para ulama dijadikan tempat
menggali ilmu pengetahuan. Menurut Ahmad Syalabi, murid-murid belajar di
rumah-rumah ulama dikarenakan guru madrasah sudah tidak mengajar lagi. Maka,
murid-murid mendatangi rumah para ulama guna mendapat ilmu pengetahuan.
h. Badiyah
Badiyah
adalah dusun-dusun jazirah Arab tempat untuk mempelajari Bahasa Arab. Bahasa
Arab di badiyah masih tetap mempertahankan keaslian dan kefasihan Bahasa Arab
dalam kaidah bahasanya. Maka, para khalifah mengirimkan anak-anaknya ke badiyah
untuk belajar Bahasa Arab yang menjadi sumber pengetahuan pada bidang Bahasa
dan sastra.
i. Rumah
sakit
Pada
kejayaan Islam budaya rumah sakit yang disebut maristan bukan hanya untuk
merawat orang sakit, tetapi juga berfungsi mendidik tenaga-tenaga keperawatan
dan pengobatan. Rumah sakit juga mempunyai buku-buku kedokteran disediakan
untuk keperluan para dokter menjadi mahasiswa.
j. Majlis
Majlis
saloon kesusastraan adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah
untuk berdiskusi tentang ilmu pengetahuan. Pada masa Harun al-Rasyid majlis
saloon ini mengalami kemajuan pada Dinasti Abbasiyah.
k.
Zawiyah
Zawiyah adalah asrama atau pondok tempat terakat tasawuf dalam
artian tempat i’tikaf dan mensyiarkan urusan agama. Tempat tarekat tasawuf
yaitu tarekat al-Qadiriyah, al-Tijaniyah, al-Sanusiah. Pemahaman zawiyah
berkembang menjadi tempat khusus para khalifah untuk orang-orang yang ingin
mencari ilmu dan menjadi tempat tinggal.[21]
Itulah sejarah Islam dunia pendidikan
paling cemerlang yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah.[22] Kemajuan
aspek pendidikan tentunya tidak lepas dari perkembangan Bahasa Arab yang
menjadi bahasa administrasi yang sudah berlaku pada masa Dinasti Umayyah maupun
bahasa ilmu pengetahuan.[23]
3. Perkembangan IPTEK
Dinasti Abbasiyah pada abad 750-847
M telah mencapai masa keemasannya. Pada masa itu eksistensi ilmu pengetahuan
berkembang, yang ditandai literatur ilmu pengetahuan yang eksis, seperti kitab
kesusastraan, teologi, filsafat, dan ilmu alam. Popularitas Dinasti Abbasiyah
juga mencapai puncak masa keemasannya dibawah kekuasaan khalifah Harun
al-Rasyid pada abad 786-809 M dan putranya al-Ma’mun pada abad 813–833 M. Kedua
khalifah hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki kesan yang sangat baik.[24]
Puncak keemasannya yaitu kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kesusantraan, dan kebudayaan. Banyaknya ilmuan di bawah
pemerintahannya, seperti Qodri Abu Yusuf, keluarga Bermakid, Abu Atahiyah,
Ishak al-Mausuli, dan yang lainnya.[25] Dimasa
ini kota Baghdad menjadi kota yang sangat pesat dengan ilmu pengetahuan dan
perdagangan. Selain itu, masa pemerintahan beliau dibangun perpustakaan sebagai
pusat referensi dan pusat diskusi ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah adalah nama
perpustakaannya yang artinya gedung ilmu pengetahuan.
Zaman kekuasaan Harun al-Rasyid pula mengalami perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga para sejarawan bahwa Harun al-Rasyid benar-benar menempati derajat yang sangat tinggi dan agung dalam kebudayaan dan peradaban sejarah Islam.[26]
Zaman kekuasaan Harun al-Rasyid pula mengalami perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga para sejarawan bahwa Harun al-Rasyid benar-benar menempati derajat yang sangat tinggi dan agung dalam kebudayaan dan peradaban sejarah Islam.[26]
Selain menanjak pada masa Harun al-Rasyid dinasti Abbasiyah juga
mencapai kegemilangannya pada masa al-Ma’mun pada abad 813–833 M dalam
perkembangan sains.[27] Di
Baitul Hikmah, al-Ma’mun mengumpulkan berbagai pengetahuan asing, kemudian
memerintahkan ke dalam Bahasa Arab dan muncullah filosofi Arab yang agung,
al-Kindi yang telah menyusun berbagai macam kitab ilmu pengetahuan. Al-Hajjaj
yang telah menerjemahkan karya al-Ma’mun yang telah diterjemahkan yaitu
beberapa karya Euclids dab buku Ptolemy.
Al-Mak’mun membagi pemerintahannya selama dua puluh tahun dalam dua bagian, yaitu:
Al-Mak’mun membagi pemerintahannya selama dua puluh tahun dalam dua bagian, yaitu:
1) Kesibukan
al-Ma’mun dalam ilmu pengetahuan sehingga dengan sangat terpaksa ia menyerahkan
pemerintahannya kepada Fazal bin Sahal.
2) Dua
belas tahun kemudian al-Ma’mun mengambil alih kembali pemerintahannya. Dari
uraian deskriptif tentang sejarah Dinasti Abbasiyah.[28]
Dinasti Abbasiyah juga mencatat
penemu dan inovasi yang sangat penting bagi manusia. Salah satunya adalah
pengembangan teknologi pembuatan kertas. Kertas pertama kali digunakan oleh
bangsa China sangat terbatas dan dikembangkan oleh umat Abbasiyah. Setelah
teknologi pembuatan tersebut mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad,
akhirnya pada abad 900 M di Baghdad terdapat percetakan yang mempekerjakan
penulis dan penjilid. Kemudian mulai bermunculan perpustakaan-perpustakaan. Hingga
menyebar Fes dan akhirnya masuk ke Eropa melalui Andalusia pada abad 13 M.[29]
C.
Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn
al-Abbas dan Dinasti Abbasiyah adalah dinasti yang berdiri sangat lama.
Berlangsung selama 5 abad kekuasaan Dinasti Abbasiyah sejak abad 750-1258 M,
merupakan kelanjutkan kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Zaman khalifah Harun
al-Rasyid pada abad 789-809 M dan putranya al-Ma’mun pada abad 813-833 M
Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaan. Kemunculan Pendidikan Islam berawal
dari Rasulullah SAW dari pendidikan yang bersifat informal yang berupa dakwah Islamiyah
untuk menyebarkan misi ajaran Islam. Puncak keemasannya yaitu kesejahteraan,
kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesusantraan, dan kebudayaan. Dinasti
Abbasiyah juga mencatat penemu dan inovasi yang sangat penting bagi manusia.
Salah satunya adalah pengembangan teknologi pembuatan kertas. Setelah teknologi
pembuatan tersebut mendirikan pabrik kertas di Samarkand dan Baghdad, akhirnya
pada abad 900 M di Baghdad terdapat percetakan yang mempekerjakan penulis dan
penjilid. Kemudian mulai bermunculan perpustakaan-perpustakaan.
Referensi
As,
Dedi Wahyudi Rahayu Fitri. “Islam Dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika
Islam Di Dunia Barat).” Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya 1,
no. 2 (2016): 267–290.
Chanifah, Nur.
“Perkembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah Pada Masa
Kejayaan Dinasti Abbasiyah.” Jurnal Pikir : Jurnal Studi Pendidikan Dan
Hukum Islam 1, no. 1 (3 Januari 2015): 1–20.
Farida, Siti.
“Analisis Historis Terhadap Integrasi Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa
Abbasiyah.” Kabilah : Journal of Social Community 2, no. 2 (2017):
340–59. https://doi.org/10.35127/kbl.v2i2.3141.
Intan, Salmah.
“Kontribusi Dinasti Abbasiyah Bidang Ilmu Pengetahuan.” Rihlah: Jurnal
Sejarah dan Kebudayaan 6, no. 2 (30 Desember 2018): 166–77.
https://doi.org/10.24252/rihlah.v6i2.6911.
Kawakib, A. Nurul.
“Politik Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah: Politik
Ketenagaan.” J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (30 Juni
2015). https://doi.org/10.18860/jpai.v1i2.3356.
Khairuddin, K.
“Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah (Studi Analisis Tentang Metode,
Sistem, Kurikulum Dan Tujuan Pendidikan).” Ittihad 2, no. 1 (30 Juni
2018).
http://ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id/index.php/ittihad/article/view/39.
Kurniawati, Erna.
“Sumbangsih Cendikiawan Dalam Penerjemahan Buku-buku Ilmu Pengetahuan (Studi
Pada Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah).” Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil
Penelitian 14, no. 2 (8 Desember 2019): 42–62.
https://doi.org/10.31332/ai.v14i2.1546.
Mahroes, Serli.
“Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah Pendidikan Islam.” Tarbiya:
Jurnal Ilmu Pendidikan Islam 1, no. 1 (18 April 2015): 77–108.
Maryamah,
Maryamah. “Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah.” Tadrib 1, no. 1
(2015): 47–65.
Masyhuri,
Saefuddin. “Transformasi Tradisi Keilmuan Dalam Islam: Melacak Akar Kemunculan
Dan Perkembangan Institusi Pendidikan Islam.” Hunafa: Jurnal Studia Islamika
4, no. 3 (15 September 2007): 227–36.
https://doi.org/10.24239/jsi.v4i3.215.227-236.
Muksin, Mochamad.
“Islam Dan Perkembangan Sains & Teknologi (Studi Perkembangan Sains Dan
Teknologi Dinasti Abbasiyah).” Jurnal Teknologi Dan Manajemen Informatika
2, no. 1 (1 Mei 2016). https://doi.org/10.26905/jtmi.v2i1.617.
Murtopo, Ali.
“Politik Pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah (Kasus Madrasah Nizhamiyah Di
Baghdad).” Ta’dib: Journal of Islamic Education (Jurnal Pendidikan Islam)
19, no. 02 (2014): 313–32.
Suriana, Suriana.
“Refleksi-Introspeksi: Tantangan Dan Penopang Kemajuan Lembaga Pendidikan
Tinggi Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah.” Itqan : Jurnal Ilmu-Ilmu
Kependidikan 8, no. 2 (13 Desember 2017): 107–21.
Wahyuningsih, Sri.
“Implementasi Sistem Pendidikan Islam Padaa Masa Daulah Abbasiyah Dan Pada Masa
Sekarang.” Jurnal Kependidikan 2, no. 2 (2014): 109–26.
https://doi.org/10.24090/jk.v2i2.555.
Wasito, Wasito.
“Pendidikan Islam Dan Peradaban Dunia Dalam Kajian Daulah Abbasiyah.” Tribakti:
Jurnal Pemikiran Keislaman 26, no. 1 (2015): 44–64.
https://doi.org/10.33367/tribakti.v26i1.201.
[3] Serli
Mahroes, “Kebangkitan Pendidikan Bani Abbasiyah Perspektif Sejarah Pendidikan
Islam,” Tarbiya: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam 1, no. 1 (18 April 2015):
79.
[6] K.
Khairuddin, “Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah (Studi Analisis Tentang
Metode, Sistem, Kurikulum Dan Tujuan Pendidikan),” Ittihad 2, no. 1 (30
Juni 2018): 100, http://ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id/index.php/ittihad/article/view/39.
[8] Khairuddin,
“Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah (Studi Analisis Tentang Metode,
Sistem, Kurikulum Dan Tujuan Pendidikan),” 100.
[10] Khairuddin,
“Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah (Studi Analisis Tentang Metode,
Sistem, Kurikulum Dan Tujuan Pendidikan),” 101.
[12] Siti
Farida, “Analisis Historis Terhadap Integrasi Kurikulum Pendidikan Islam Pada Masa
Abbasiyah,” Kabilah : Journal of Social Community 2, no. 2 (2017): 346,
https://doi.org/10.35127/kbl.v2i2.3141.
[13] Wasito
Wasito, “Pendidikan Islam Dan Peradaban Dunia Dalam Kajian Daulah Abbasiyah,” Tribakti:
Jurnal Pemikiran Keislaman 26, no. 1 (2015): 50,
https://doi.org/10.33367/tribakti.v26i1.201.
[16] Dedi
Wahyudi Rahayu Fitri As, “Islam Dan Dialog Antar Kebudayaan (Studi Dinamika
Islam Di Dunia Barat),” Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya 1,
no. 2 (2016): 272.
[17] Saefuddin
Masyhuri, “Transformasi Tradisi Keilmuan Dalam Islam: Melacak Akar Kemunculan
Dan Perkembangan Institusi Pendidikan Islam,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika
4, no. 3 (15 September 2007): 228,
https://doi.org/10.24239/jsi.v4i3.215.227-236.
[18] Sri
Wahyuningsih, “Implementasi Sistem Pendidikan Islam Padaa Masa Daulah Abbasiyah
Dan Pada Masa Sekarang,” Jurnal Kependidikan 2, no. 2 (2014): 111,
https://doi.org/10.24090/jk.v2i2.555.
[19] Nur
Chanifah, “Perkembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah
Pada Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah,” Jurnal Pikir : Jurnal Studi
Pendidikan Dan Hukum Islam 1, no. 1 (3 Januari 2015): 5.
[22] Ali
Murtopo, “Politik Pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah (Kasus Madrasah
Nizhamiyah Di Baghdad),” Ta’dib: Journal of Islamic Education (Jurnal
Pendidikan Islam) 19, no. 02 (2014): 314.
[23] Suriana
Suriana, “Refleksi-Introspeksi: Tantangan Dan Penopang Kemajuan Lembaga
Pendidikan Tinggi Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah,” Itqan : Jurnal
Ilmu-Ilmu Kependidikan 8, no. 2 (13 Desember 2017): 113.
[24] A. Nurul
Kawakib, “Politik Pendidikan Islam Pada Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah:
Politik Ketenagaan,” J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (30
Juni 2015): 33, https://doi.org/10.18860/jpai.v1i2.3356.
[25] Mochamad
Muksin, “Islam Dan Perkembangan Sains & Teknologi (Studi Perkembangan Sains
Dan Teknologi Dinasti Abbasiyah),” Jurnal Teknologi Dan Manajemen
Informatika 2, no. 1 (1 Mei 2016): 16–17,
https://doi.org/10.26905/jtmi.v2i1.617.
[27] Erna
Kurniawati, “Sumbangsih Cendikiawan Dalam Penerjemahan Buku-buku Ilmu
Pengetahuan (Studi Pada Masa Pemerintahan Dinasti Abbasiyah),” Al-Izzah:
Jurnal Hasil-Hasil Penelitian 14, no. 2 (8 Desember 2019): 47,
https://doi.org/10.31332/ai.v14i2.1546.
[28] Muksin,
“Islam Dan Perkembangan Sains & Teknologi (Studi Perkembangan Sains Dan
Teknologi Dinasti Abbasiyah),” 17.
[29] Salmah
Intan, “Kontribusi Dinasti Abbasiyah Bidang Ilmu Pengetahuan,” Rihlah:
Jurnal Sejarah dan Kebudayaan 6, no. 2 (30 Desember 2018): 173,
https://doi.org/10.24252/rihlah.v6i2.6911.
Comments
Post a Comment